24 Agustus 2009

penjajahan di Indonesia (bagian pertama)

m. halwi dahlan

abstrak

Literatures history of especially Iesson matter of history presented to the students from level of SD until SMA, loaded frenziedly storys heroik and patriotic. The causes growing of understanding among the rising generation of Indonesia about badness a nation that is then is given colonist title, likely is pattern in such a manner causing forms a currency two sidesly differs in by one pottings so called nationalism. By one sides is depicted about colonist behaviour becoming sir to Indonesian nation then is added with existence of people (pribumi) Indonesian selling the pass his own nation. While at other side depicts grief of people and Indonesian people insult colonized in self birth land. Imej and teaching like this bears position of dislike and antipathy that is sometimes abundant and closes eyes to pay attention to something else that kontradiktif with the grief and insult.

Literatur-literatur sejarah terutama materi pelajaran sejarah yang disajikan kepada para siswa dari tingkat SD sampai SMA, sarat dengan hiruk pikuk kisah-kisah heroik dan patriotik. Hal in menyebabkan tumbuhnya pemahaman di kalangan generasi muda Indonesia tentang keburukan suatu bangsa yang kemudian diberi titel penjajah, nampaknya dipola sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah mata uang dengan dua sisi berbeda pada satu wadah bernama nasionalisme. Pada satu sisi digambarkan tentang tingkah laku penjajah yang menjadi tuan atas bangsa Indonesia lalu ditambah dengan adanya orang-orang (pribumi) Indonesia yang menghianati bangsanya sendiri. Sementara pada sisi lainnya menggambarkan penderitaan rakyat dan kenistaan rakyat Indonesia yang terjajah di tanah kelahiran sendiri. Imej dan ajaran seperti ini melahirkan sikap kebencian dan antipati yang terkadang berlebihan dan menutup mata untuk memperhatikan hal lain yang kontradiktif dengan penderitaan dan kenistaan tadi.

1. Pengantar

Tulisan ini awalnya berjudul Pengaruh Penjajahan di Indonesia dan telah diterbitkan dalam bentuk tulisan pada Jurnal Ilmiah sejarah dan Budaya “Buddhiracana” yang diterbitkan oleh BKSNT (Balai kajian sejarah dan Nilai Tradisional) Bandung tahun 2001. Pada tulisan di blog ini tulisan tersebut dibagi menjadi 2 bagian, pertama berjudul Penjajahan dan Indonesia; mengungkap kronik kisah pejajahan yang pernah terjadi di Indonesia antara tahun 1603-1963. Kedua, berjudul Pengaruh Penjajahan di Indonesia; refleksi sikap bangsa terhadap realitas dampak penjajahan yang telah berlangsung selama 360 tahun. Pada bagian penutup tulisan ini (bagian kedua) dikemukakan suatu sikap yang melihat suatu peristiwa secara proporsional dan tidak parsial tanpa bermaksud sedikitpun mengurangi sikap patriotik dan nasionalisme kebangsaan Indonesia.

2. Pendahuluan

Secara leksikan penjajahan adalah suatu proses, pembuatan atau cara menjajah (Tim Penyusun Kamus, 1990: 345) dalam arti suatu aktifitas yang mengarah pada penguasaan dari sesuatu yang telah ditundukan sehingga menjadi lemah dengan menggunakan ancaman, teror, agitasi, tekanan, agresi dan tindakan kekerasan lainnya. Dalam memahami kondisi di nusantara kemudian Indonesia terutama di abad ke-7 sampai pertengahan abad ke-20 masehi, maka penjajahan adalah penguasaan wilayah dan penduduk beserta perangkat-perangkat pemerintahan tradisional (adat, raja dan kerajaan) disertai pemaksaan untuk patuh pada peraturan yang diatur secara sepihak oleh penguasa baru. Dalam kondisi seperti ini berbagai aturan dan peraturan yang telah ada menjadi rancu karena di satu sisi penduduk jajahan telah memiliki aturan yang mengiket mereka secara adat (seperti hanya patuh kepada pemimpin lokal mereka), sementara di sisi lain setiap penjajah akan menggunakan cara mereka sendiri dalam mejalankan taktik dan permainan pada daerah jajahannya. Tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh penjajah adalah menekan pemimpin lokal agar rakyat atau pengikut pengikutnya mau bekerjasama.

Selain itu, penjajahan juga memuat pengertian kungkungan terhadap kreatifitas bahkan aktifitas rakyat jajahan dimana penjajah selalu mempunyai perasaan dan sikap curiga sehingga diperlukan pengawasan terus menerus. Dalam hal ini pembatasan dan penanaman paksa pola pikir juga adalah penjajahan sepanjang itu dimaksudkan untuk pemaksaan kehendak.

Penjajahan menurut bangsa Indonesia dapat dilihat dalam alenia pertama Undang-Undang dasar 1945 yang menyebutkan bahwa penjajahan itu adalah suatu perbutan yang tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Maksudnya adalah pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia seperti untuk hidup, hak untuk berbicara, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk melaksanakan ibadah, hak untuk penyelenggaraan kebudayaa dan hak atas perkerjaan yang layak. Sedangkan pelanggaran terhadap perlakuan dan pembagian yang tidak berimbang, hak mendapatkan perlindungan keamanan, hak kebersamaan dalam hukum, hak untuk mendapatkan pendapatan/penghasilan yang layak sesuai dengan jenis pekerjaannya, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran azas-azas keadilan.

Oleh karena itu, bangsa Indonesia melalui konteks perundangannya sangat menjunjung tinggi solidaritas sosial seperti termaktub dalam sila kedua dan kelima dasar negara Indonesia Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Keadilan Sosisal bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sampai sejauh mana perikemanusiaan dan perikeadilan ini berfungsi atau diberlakukan di Indonesia, tulisan ini tidak mempresentasikannya dalam wacana kali ini. Tulisan ini adalah sekedar wacana yang mencoba mengulas hal yang kontradisksi dalam hal pemahaman sejarah bangsa Indonesia yang selama ini menganggap bahwa penjajahan hanya mengakibatkan kerugian dan penderitaan. Jadi tulisan ini mencoba mengangiat sisi lain (kalau tidak mau disebut sisi baik) yang dikaji berdasarkan fakta-fakta sejarah dari penjajahan yang pernah berlangsung di Indonesia –sejak penjajahan Belanda selama 350 tahun dan penjajahan Jepang selama ± 2,5 tahun- tanpa bermaksud menghilangkan sikap nasionalisme dan patriotisme bangsa Indonesia.

3. Indonesia di bawah jajahan bangsa asing

Sebelum mengetengahkan kondisi Indonesia di masa penjajahan bangsa asing, maka perlu diulas dahulu tentang kondisi di nusantara pada saat Indonesia[1] belum dilahirkan. Kemudian agar terpenuhi unsur keterpaduan antara permasalahan dengan pembahasan, maka tulisan ini tidak dimulai dari awal kehadiran kerajaan pertama (abad ke-5) melainkan dimulai dari masa ekspansi kerajaan Sriwijaya. Inipun tidak disajikan secara runtut. Sebagimana diketahui tumbuh kembangnya kerajaan di nusantara bersifat berkesinambungan sekalipu yang munsul kemudian adalah kerajaan baru atau dinasti baru akibat politik aneksasi antar kerajaan atau intrik politik intern suatu kerajaan yang akhirnya melahirkan kerajaan baru.

Dalam abad ke -7 yaitu antara tahun 683-686 M, raja Jayanasa (Jayanaga) dari kerajaan Sriwijaya melakukan aneksasi ke utara dan selatan untuk menguasai Selat Malaka dan Selat Sunda. Dalam aneksasi ini penduduk di sekitar sungai Batanghari dan Pulau Bangka dikutuk karena tidak patuh kepada raja dan pembesar kerajaan (D.E.G. Hall, 1988:40). Selanjutnya dalam abad ke-11 sampai 12 terjadi pencaplokan antarkerajaan seperti dikuasainya kerajaan Janggala oleh Panjalu atau kerajaan Kediri (Ibid,68). Setelah kerajaan Kediri runtuh dan digantikan oleh Singasari (1222) dengan rajanya yang bernama Ken Arok. Selanjutnya peenguasaan kerajaan Majapahit atas kerajaan-kerajaan lain terutama pada saat Gajah Mada menjadi mahapatih dan mengeluarkan Sumpah Palapa pada tahun 1331. Sumpah Palapa adalah sebuah perwujudan politik penaklukan dengan kekuatan militer sebagai realisasi cita-cita untuk menyatukan kepulauan nusantara dibawah pengaruh dan keuasaan Majapahit.

Sekelumit kisah di atas memberi nuansa lain dala khazanah historiografi Indonesia yang merupakan fakta bahwa jauh sebelum bangsa-bangsa penjajah (Belanda mewakili Eropa dan Jepang mewakili Asia menyentuh nusantara, nenek moyang bangsa Indonesia sudah salaing menjajah.

Proses penjajahan ini terus dilanjutkan oleh penguasa yang sam sekali tidak berdarah nusantara melainkan dari sisi bumi yang lain yakni dari benua Eropa dengan latar perdagangan untuk kemudian campur tangan dalam masalah-masalah intern kerajaan nusantara dengan tujuan akhir menguasainya secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan semangat yang sedang berkembang di Eropa terutama pada sekitar abad ke-15 Masehi, yaitu berusaha mendapatkan rempah-rempah yang menjadi komoditas perdagangan yang sangat menguntungkan dengan harga murah (sebelum penaklukan) dan menjualnya dengan harga sangat tinggi. Pedagang Eropa ini kemudian menjadi pengelola (setelah menguasai kerajaan setempat).

Sebelumnya, rempah-rempah tersebut diperoleh dari para pedagang Arab dari Timur Tengah. Namun kemudian mereka melakukan pelayaran sendiri ke pusat-pusat rempah-rempah tersebut. Dalam perjalanan, pedagang Eropa ini dilengkapi dengan tentara bayaran untuk menjaga dan mengamankan perjalanan mereka dari kemungkinan hadangan perompak. Para tentara bayaran ini ternyata sangat berguna terutama dalam penaklukan kerajaan lokal.

Setelah melihat langsung situasi dan kondisi di tempat asal barang dagangan tersebut ternyata kemudian menimbulkan inspirasi untuk menguasai atau memonopoli komoditi perdagang tersebut. Namun demikian untuk memonopoli ini diperlukan usaha keras membujuk penguasa setempat selain mencari peluang lain untuk maksud yang lebih besar.

Ketika pedagang Eropa berada di nusantara, kondisi kerajaan-kerajaan sedang dalam masa kekacauan. Ada yang memperebutkan tahta, ada yang melakukan aneksasi. Kondisi ini tentu saja merupakan peluang bagi pedagang Eropa dengan cara memihak salah satu dari yang bertikai dan menjanjikan perlindungan dengan kekuatan senjata yang lebih modern. Tetapi tentu saja “bantuan” ini disertai perjanjian yang menguntungkan mereka para pedagang Eropa. Tercatat ada dua perjanjian yang sangat menguntungka mereka yaitu korte verklaring dan lang verklaring (perjanjian pendek dan perjanjian panjang). Tidak satupun kerajaan lokal yang terikat dengan perjanjian ini yang tidak dikuasai, hingga akhirnya pad abad ke-18 nusantara di bawah kekuasaan Eropa (Belanda dan Inggeris bergantian di wilayah barat dan tengah nusantara – Belanda sampai ke Papua-, Portugis di Malaka dan Timor Timur.

Sukses menguasai wilayah nusantara tidak serta merta memakmurkan negeri induk mereka, karena rangkaian upaya penaklukan ternyata juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) dinyatakan bangkrut dan memiliki hutang yang tidak mungkin terbayar dibalik kesuksesan mereka menaklukkan kerajaan lokal.

Pemerintah Kerajaan Belanda kemudian mengambil alih penguasaan atas wilayah taklukan VOC dan menjadikannya sebagai koloni kerajaan Belanda sesuai pasal 232 UUD Belanda tahun 1798 dan pada tahun 1806 Raja Belanda Lodewijk Napoleon menempatkan urusan wilayah jajahan pada suatu departemen di bawah menteri jajahan dan mengangkat gubernur jenderal sebagai kepala pemerintahan di daerah kolonial (Bayu Surianingrat, 1981:9). Dengan demikian Hindia Belanda sudah menjadi bagian negeri Belanda dan dimulailah kolonialisme.

Kolonialisme seperti tertulis dalam buku Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia adalah rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lain di bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi, dan penetrasi kebudayaan. Sedangkan imperialisme adalah sistem usaha menyatukan daerah-daerah yang merupakan koloninya hingga menjadi bagian dafri kekuasaan (C.S.T. Kansil dan Juliantyo S.A.,:1968:13) Kedua teori ini menggambarkan pencaplokan wilayah dan pemaksaan kekuasaan secara mutlak pada seluruh sendi-sendi kehidupan rakyat jajahannya, amat sesuai dengan kondisi nusantara terutama sejak runtuhnya VOC tahun 1795 dan dilanjutkan dengan berkuasanya pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1806 sampai 1942, kemudian oleh bangsa Jepang dari tahun 1941 sampai 1945, dan dilanjutkan lagi dengan percobaan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia dari tahun 1945 sampai penyerahan kedaulatan kepada RIS tahun 1949.

Penjajahan negeri Belanda atas wilayah Indonesia dapat dibagi dalam empat masa. Pertama, masa monopili perdagangan dengan didirikannya sebuah kantor dagang di jayakarta bernama Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602 (Ibid:16) sampai dinyatakan bangkrut (1795) setelah 193 tahun mengeruk kekayaan alam nusantara cikal bakal Indonesia. Masa ini ditandai dengan pemaklukan kerajaan-kerajaan lokal di nusantara serta perebutan daerah penghasil rempah-rempah dengan bangsa Eropa lainnya seperti Inggeris, Spanyol, dan Portugis. Kedua, masa setelah runtuhnya VOC dan wilayah bekas penetrasi VOC kemudian dikolonisasi oleh Kerajaan Belanda dari tahun 1806 sampai 1942. Masa ini ditandai dengan penaklukan kerajaan lokal, penumpasan pemberontakan dalam kerajaan, tumbuh dan berkembangnya nasionalisme kebangsaan pribumi, terjadinya perubahan di negeri Belanda akibat aktifitas Partai liberal yang menhendaki agar pemerintah kerajaan juga memperhatikan nasib rakyat jajahannya (masa politik etis). Ketiga, masa invasi militer Belanda yang membonceng sekutu (yang kemudian diakui sebagi aksi polisional) dengan tujuan mengembalikan Indonesia sebagi koloni Kerajaan Belanda. Ini terjadi antara tahun 1945 sampai tahun 1949, setelah pemerintah Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia serikat (RIS). Masa ini ditandai dengan semangat persatuan yang utuh untuk mengusir Belanda dan mempertahankan kemerdekaan[2], agresi militer Be;nada I yang melanggar Persetujuan Linggar Jati pada tanggal 20 Juli 1947 dan agresi Belanda II yang melanggar Persetujuan Renville dengan menyerang ibukota RI Yogyakarta dan menawan presiden dan wakil presiden bersamaan dengan penyerangan terhadap Bukittinggi pada tanggal 19 Desember 1948. Dalam masa ini juga lahir sebuah pemerintahan darurat secara bergerilya menghindari pasukan Belanda bernama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Sumatera Barat diketuai oleh Mr. Syafrudin Prawiranegara, sehingga Republik Indonesia tidak hancur. Keempat, masa merebut Irian Barat yang tidak pernah akan dilepaskan oleh pemerintah Kerajaan Belanda sampai tanggal 1 Oktober 1963. Masa ini ditandai dengan perubahan RIS emnjadi Ri, munculnya Tritura, gejolak politik yang memanas sehingga melahirkan perang saudara seperti terbentuknya dewan-dewan daerah, RMS, PRRI/Permesta, perubahan UUD dan pemilu I tahun 1955.

Memperhatikan keempat masa di atas, maka untuk mengumpulkan kurun waktu penjajahan Belanda atas wilayah Indonesia adalah dari tahun 1602 sampai dengan tahun 1963 sehingga masa penjajahan tersebut berlngsung selama 361 tahun, ditambah 3½ tahun dibawah jajahan bangsa Jepang yang berlangsung antara 1942 sampai 1945. Dengan demikian, maka jajahan bangsa asing (Belanda dan Jepang di Indonesia berlangsungselama 364 tahun. Suatu rentang waktu yang sangat panjang dan telah melibatkan beberapa generasi sebagai kenyataan pahit bangsa yang tertindas. Bersambung ke bagian kedua.

Kepustakaan

Ekajati, edi S.dkk., 1998.

Sejarah Pendidikan Daerah Jawa barat. Jakarta: Depdikbud.

Hall, D.G.E., 1998.

Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Usaha Nasional.

Kansil C.S.T., dan Julianto S.A., 1982.

Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta :Erlangga.

M. Hutauruk, 1984

Gelora Nasionalisme Indonesia. Jakarta:Erlangga.

Surianingrat, Bayu. 1981.

Sejarah Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Dewaruci Press.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka.



[1] Kata Indonesia yang akhirnya menjadi nama salah satu negara di wilayah Asia Tenggara, pertama kali dikemukakan pada tahun 1850 oleh etnologi Inggeris bernama G.R. Logan. Kata Indonesia berasal dari kata Indianesos (bahasa Yunani berarti kepulauan) jika disatukan akan membentuk pengertian Kepulauan Hindia. Secara sosio-politik, nama Indonesia digunakan pertama kali oleh (bahasa Latin berarti Hindia) dan mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda yang tergabung dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (1922) yang diketuai oleh Mohammad Hatta. Nama Indonesia selanjutnya dikukuhkan oleh pemuda-pemuda Indonesia sebagai sikap nasionalisme pada tanggal 28 Oktober 1928 sewaktu Sumpah Pemuda dicetuskan dimana saat itu lagu Indonesia Raya sebagai lagu persatuan (kemudian menjadi lagu kebangsaan) dinyanyikan pertama kali. (Hasan Sadeli:1437).

[2] Sedikit catatan, dalam masa ini persatuan yang mengandung unsur kebersamaan mencapai puncaknya kemudian terus menurun secara drastis sebagai akibat mendahulukan kepentingan kelompok daripada bangsa. Tercatat beberapa peristiwa penting seperti: Pemberontakan PKI Muso (Madiun Affair)18 September 1948 dan Pemberontakan DI/TII tahun 7 Agstus 1949.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar