02 September 2009

Petasan

M. Halwi Dahlan

Abstract

Usually at night nearing idul fitri, christmas, and new year is heard [by] dar der dor here and there as momentary gladness expression or euphoria, but since the year 2002 felt there are new situation at third of the moment. The eruptions do not come from officer fire arm is being protects taste bearer, also not from bomb explosion attached by terrorist. Dar der dor comes from cracker that is intentionally burned as gladness sign without thinking of effect generated. Though has not losed at all (because here and there still be heard one), cracker prohibited its use by the government, has made situation of celebration of big days become more to take a pride focus, calm, and peace. Actually where from of the cracker, does it the Indonesian culture original? Article following tries traces it.

Abstrak

Biasanya pada malam menjelang idul fitri, natal, dan tahun baru terdengar dar der dor di sana-sini sebagai ungkapan kegembiraan atau euforia sesaat, namun sejak tahun 2002 terasa ada suasana baru pada ketiga momen tersebut. Letusan-letusan tersebut bukan berasal dari senjata api petugas yang sedang mengamankan pengunjuk rasa, juga bukan dari ledakan bom yang dipasang oleh teroris. Dar der dor berasal dari petasan yang sengaja dibakar sebagai tanda kegembiraan tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan. Meskipun belum hilang sama sekali (sebab di sana-sini masih terdengar satu-satu), petasan yang dilarang penggunaannya oleh pemerintah tersebut, telah membuat suasana perayaan hari-hari besar menjadi lebih khusu, hening, dan damai. Sebenarnya darimanakah asal petasan itu, apakah ia asli budaya Indonesia? Tulisan berikut ini mencoba menelusurinya.

Kesatu

Dalam tradisi masyarakat nusantara sebelum dikenalnya petasan, untuk menyemarakkan suasana dilakukan dengan tabuhan gendang, tifa, nekara, pukulan gong, dan tarikan suara suling/terompet. Suara alat musik ini mampu mengundang perhatian masyarakat untuk mencari sumber suara yang kemudian menikmati sajian-sajian irama dan dalam perkembangan berikutnya ditambah alunan suara penyanyi, sehingga suasana menjadi semakin semarak. Pada lain suasana, ketika terjadi gerhana (Bulan maupun Matahari), sebelum petasan dikenal maka ditabuhlah segala yang dapat menimbulkan bunyi-bunyian seprti kentongan, gendang, sampai pada benturan peralatan dapur (panci yang diadu dengan sendok, misalnya). Tujuannya adalah agar raksasa yang menelan bulan atau matahari mau memuntahkannya kembali. Dalam hal penyampaian informasi, penggunaan kentongan menjadi alat komunikasi. Bunyi kentongan selalu bervariasi berdasarkan peristiwa yang sedang terjadi. Inilah gambaran bahwa petasan bukan asli budaya Indonesia karena petasan tidak pernah terdengar setidaknya sampai dengan abad ke-17. Petasan mulai dikenal ketika imigran asal dataran tiongkok mendatangi nusantara sebagai pemukim tetap.

Kedua

Awalnya kedatangan orang-orang Tiongkok ke nusantara adalah dalam rangka barter komuditi pedagangan. Dalam proses perdagangan tersebut terjalin hubungan antara masyarakat nusantara dengan para perintis komunitas Tionghoa ini nantinya. Barter perdagangan ini sudah berlangsung sejak zaman kerajaan Sriwijaya abad 6-7. Pada waktu itu kapal dagang mereka bergantung kepada arah angin yang akan mebawa mereka kepada tempat asalnya. Selama menuggu datangnya angin tersebut, mereka kemudian membangun gudang-gudang penyimpana barang dagangan juga mendirikan tempat-tempat ibadah sampai kemudian ada yang menetap dan membangun komunitas serta menularkan kebudayaanya. Ketika komunitas telah terbentuk aktifitas mereka yang merupakan tradisi ketika masih di dataran Tiongkok juga dilanjutkan di tempat yang baru. Diantara tradisi yang mereka tularkan adalah dIbidang teknologi pembuatan makana-makanan khas yang kemudian dikenal dengan sebutan mi, bakso, siomay, capcay, cingcau, dan bakpao. Juga ditularkan teknologi pembuatan penggilingan tebu, bakiak, perlengkapan masak seperti anglo dan wajan, serta peralatan makan diantaranya sendok bebek, alat ukur dan hitung swipoa dan dacing bahkan kerajaan majapahit mengembangkan teknologi pembuatan kapalnya atas bantuan para bekas tentara Mongol. Di bidang pertanian komunitas Cina juga memberikan konstribusi seperti pengenalan tanaman kacang hijau, lobak, kucai, lengkeng, pecai, caisim, lokio, dan kailan. Alam kepercayaan ethnis Cina juga turut dilebur diantaranya penggunaan uang logam untuk jimat dan membunyikan petasan untuk suatu tujuan tertentu. Salah satu kebiasaan orang Cina adalah menyulut petasan. Di negeri asal mereka petasan dibunyikan dengan maksud mengusir segala malapetaka yang disebabkan oleh gangguan jin, setan, ataupun hantu. Petasan mulai digunakan di daratan Cina pada abad ke-9 (intisari, Oktober 2002:25). Pada waktu itu sedang mewabah suatu penyakit di tengah-tengah masyarakat. Kebiasaan masyarakat Cina apabila mengusir malapetaka selalu dilakukan dengan memukul benda-benda yang suranya nyaring seperti seng, tambur, dan gendang (Ibid). Perilaku sepeti ini diyakini dapat mengusir sumber malapetaka tersebut. Alam kepercayaan masyarakat Cina sarat dengan hal-hal mistis diantaranya bahwa para leluhur mereka yang telah meninggal dunia mampu memberi perlindungan kepada keturunannya, mereka juga mempercayai pengaruh tanggal hari lahir terhadap nasib seseorang. Demikian pula arah dan posisi rumah terhadap keberuntungan pemiliknya, yang terakhir ini lebih dikenal feng sui. Timbulnya wabah penyakit dan malapetaka lainnya dipercaya dilakukan oleh mahluk jahat yang berasal dari roh orang-orang yang dianggap sesat selama hidupnya ataupun oleh mahluk hidup lainnya seperti setan, jin, hantu dan sebagainya. Setelah ditemukan petasan, maka sumber suara yang tadinya dari hasil memukul benda beralih kepada menyulut petasan atau mercon. Kelebihan petasan ini dapat dilemparkan kesetiap sudut untuk mengusir para mahluk halus yang jahat. Suara petasan yang menggelegar dan berentetan di yakini sanggup mengusir mahluk pengganggu tersebut.

Ketiga

Meskipun tidak jelas sejak kapan petasan dibawa ke nusantara, tetapi bahwa para imigran Cina meninggalkan tanah leluhurnya juga membawa kebiasaan mereka termasuk menyulut petasan, dapat menjadi suatu indikator bahwa segera setelah petasan digunakan (abad ke-9) di Cina, maka di nusantara pun juga dilakukan hal yang sama mengingat ethnis Cina sangat lekat dengan kebiasaan dan tradisi mereka. Satu-satunya informasi (setidaknya sampai ditulis artikel ini) tentang penggunaan petasan di nusantara adalah bahwa sesudah tahun 1650 penguasa VOC berulangkali mengeluarkan larangan memasang petasan, terutama di bulan-bulan Desember, Januari, dan Februari. Alasan VOC adalah selain faktor keamanan (tampaknya pihak VOC sulit membedakan antar letusan senjata api dengan ledakan petasan) juga tidak jarang terjadi kebakaran akibat petasan yang dilemparkan. Pada waktu itu rumah-rumah penduduk umumnya dari bahan bambu dan beratap rumbia sehingga sangat rentang terhadap kebakaran (Ibid).

Petasan yang dibawa ethnis Cina ke nusantara juga turut melebur dalam kebiasaan dan dijadikan bagian dari kebudayaan masyarakat setempat. Hanya saja petasan bagi masyarakat lokal bukan digunakan untuk mengusir setan, jin, roh jahat, dan mahluk halus lainnya, melainkan petasan digunakan sebagai pelengkap pelaksanaan suatu upacara atau hajatan. Masyarakat Betawi (merujuk kepada suku bangsa asli yang bermukim di sekitar bekas Kerajaan Sundakelapa atau di sekitar Batavia) sekarang dalam wilayah DKI Jakarta maupun sebagian daerah Bekasi kemudian menyebar sampai ke bekas wilayah Kerajaan Pajajaran (Bogor dan Bekasi) -sekarang dalam wilayah Prov.Jawa Barat) dan Tangerang di wilayah Banten, menjadikan petasan sebagai bagian dari simbol dilaksanakannya upacara juga merupakan undangan atau pemberitahuan akan diadakannya suatu hajatan. Irwan Syafei dalam Alwi Shahab (2002 : 88) mengungkapkan semakin banyak petasan yang dibunyikan seseorang yang akan melakukan hajatan maka semakin dipandangi dan dipuji. Ini mengindikasikan bahwa petasan mampu memberi identitas khusus dan mengangkat status sosial kepada si penyulut (tetapi sekali lagi ini dalam rangka suatu hajatan).

Bunyi petasan yang merupakan pemberitahuan atau undangan ini akan berentetan pada saat sesudah waktu Shalat Subuh (kurang lebih pukul 5.00 WIB) yang kemudian akan diulang lagi pada puncak acara. Hajatan yang sering diiringi petasan menurut Alwi Shahab (2002) yaitu sunatan, perkawinan, maulidan, isra’ mi’raj, dan menunaikan ibadah haji. Dalam suasana pagi, bunyi petasan mampu terdengar sampai sejauh 3-4 km dari pusat suara, apalagi jika petasan yang digunakan jenis petasan impor seperti petasan Jepang yang gelegar rentetan letusannya lebih kuat dapat terdengar sampai 5-6 km.

Penggunaan petasan sebagai undangan dilatarbelakangi oleh kondisi permukiman pada masa itu. Sampai dengan tahun 1940-1950-an kondisi pemukiman masih jarang, sebuah perkampungan di Jakarta masa itu hanya terdapat 6-7 rumah yang dikelilingi oleh rimbunan pohon buah-buahan seperti durian, mangga, manggis, salak, rambutan dan sebagainya. Jarak antara perkampungan yang satu dengan kampung lainnya antara 1-2 km, dengan kondisi seperti ini, maka penggunaan petasan sebagai pemberitahuan dan undangan memang efektif dibanding sebelumnya yang menggunakan kentongan yang harus bersahut-sahut agar terdengar sampai jauh.

Produk petasan lokal yang terkenal adalah buatan Parung Kabupaten Bogor, petasan ini sudah diproduksi sejak abad ke-18 pada masa pemerintah Hindia Belanda. Petasan lokal ini kemudian mendapat gelar “petasan kampung”. Adapun petasan impor yang disebut petasan Jepang banyak dijual didaerah Glodog, Senen, Tanah Abang, dan Mester (Jati Negara). Kelebihan petasan Jepang ini selain suaranya yang keras dan nyaring, harganya relatif mahal pada waktu itu, sehingga siapapun yang menggunakan petasan impor ini akan semakin naik status sosialnya (yang sebenarnya gengsi sosial).

Keempat

Petasan yang terdiri dari bubuk mesiu, gulungan kertas, dan sumbu sebagai tempat menyulut juga mengalami perubahan bentuk dan pewarnaan. Bentuk petasan juga beragam mulai dari petasan cabai (Petasan kecil yang dirangkai sehingga apabila sumbunya disulut akan berbunyi berentetan), petasan sedang dan petasan besar. Untuk petasan sedang dan besar juga digunakan tanah liat kering pada alas petasan, gunanya untuk menghambat tekanan udara sehingga memberi efek ledakan yang besar. Pewarnaan pada petasan hanya memenuhi unsur daya tarik bagi pembeli yang juga terkadang diberi hiasan gambar tokoh-tokoh kartun dan sebagainya, juga bergantung pada kreatifitas pembuatnya. Ada lagi jenis petasan yang bukan ditunjukan untuk menampilkan daya ledaknya tetapi unsur keindahannya seperti kembang api, petasan kupu-kupu, dan petasan roket. Kegunaan petasan ini adalah memperlihatkan unsur keindahan dengan pancaran sinar yang berwarna. Petasan jenis ini sering digunakan pada momen-momen penting seperti pada pembukaan pertandingan dan perlombaan olah raga, penyambutan tahun baru, dan malam penyambutan hari-hari besar agama.

Mudahnya memperoleh petasan, menjadi penyebab terjadinya disfungsi petasan tersebut. Jika sebelumnya petasan dipasang pada acara-acara dan maksud tertentu, maka dalam perkembangannya kemudian penggunaan petasan menjadi luas dan tak terkendali. Seringkali petasan sengaja diledakan dengan maksud memberi kejutan kepada orang lain. Lebih tragis lagi petasan juga diledakkan diantara rangkaian kendaraan hias pada malam takbiran yang sebenarnya mengundang bahaya. Ledakan petasan di bawah kendaraan bisa mengagetkan sopir sehingga dalam keterkejutan laju kendaraan bisa tidak terkendali, belum lagi apabila petasan meledak tepat di bawah tangki bahan bakar kendaraan yang tentu saja efek ledakannya bisa berakibat fatal jika terjadi kebocoran pada tangki tersebut. Jika ini terjadi maka bukan cuma ledakan petasan yang terdengar tetapi juga gelegar ledakan kendaraan dan kobaran api. Belum lagi orang yang terkena serangan jantung akibat ledakan petasan. Anehnya si penyulut petasan malah tertawa terbahak-terbahak. Inilah yang disebut euforia sesaat yang tidak terkendali sehingga berdampak merugikan. Oleh karena itu upaya pemerintah yang mengeluarkan larangan penggunaan petasan untuk tujuan euforia tersebut, patut mendapat dukungan msyarakat secara luas sebab dampak yang diberikan lebih banyak unsur negatifnya daripada positifmya.

Tulisan Alwi Shahab (2002:89) dibagian akhir artikel “Komunikasi Petasan” mengungkapkan pendapat masyarakat yang kontra petasan bahwa memasang petasan adalah perbuatan mubazir, membuang uang tidak pada tempatnya. Lebih baik uang tersebut digunakan untuk membantu fakir miskin, membangun dan membantu madrasah, serta menunjang kegiatan yang lebih bermanfaat. Patut mendapat acungan jempol dan dukungan secara luas. Kalau pemerintah memang bertekat ingin mengendalikan penggunaan petasan, maka aparat keamanan hendaknya tidak hanya menertibkan pedagang petasan saja, tetapi tempat-tempat pembuatannya juga perlu ditutup, kalau perlu dikenakan sanksi yang berat bagi produsernya. Kini jelaslah bahwa ternyata petasan bukan asli budaya Indonesia, dia adalah budaya asing yang diadopsi oleh masyarakat kita. Bagaimanapun masih lebih indah dan merdu mendengarkan suara alat musik tradisional seperti kentongan, angklung, calung daripada dar...der...dor.

Bahan Rujukan

Intisari, edisi oktober 2002.

Jakarta:PT.Intisari Mediatama

Shahab, Alwi. 20002.

Robin Hood Betawi.Cet.II. Jakarta : Republika.

Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah Sejarah dan Budaya “Buddhiracana” oleh BKSNT Bandung tahun 2002 dan telah dilakukan perbaikan seperlunya.

25 Agustus 2009

Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir (TTKKDH)

M. Halwi Dahlan

Penca Cimande

Penelusuran awal kelahiran ilmu silat (selanjutnya di sebut penca) Cimande di Tatar Sunda masih dilingkupi misteri. Ini terjadi karena informasi peristiwa tesbut nyaris tidak ada. Artinya informasi kepastian waktu lahirnya tidak ada, yang ada adalah informasi-informasi yang bersifat oral history yang terdiri dari berbagai versi pula. Bahkan yang menarik adalah di kalangan warga Cimande (sebutan bagi mereka yang telah menjadi murid ataupun para penerus aliran silat ini) sendiri terdapat perbedaan penafsiran tentang sosok pencipta aliran penca ini. Ada yang menafsirkan bahwa sosok Ayah Kahir atau Abah Kahir atau Embah Kohir adalah seorang laki-laki (sebagaimana umumnya pengertian jawara, jagoan, pendekar dan sebagainya yang cenderung memilih laki-laki sebagai gendernya) dan ada pula yang mengisahkan beliau adalah seorang wanita yang disebut Mbah Khaer. Tetapi uniknya mereka semua menginduk kepada sang pencipta penca Cimande yang telah dimakamkan di Tanah Sereal Kabupaten Bogor. Setidaknya pada penelitian ini ada 3 versi tentang awal mula lahirnya Cimande. Adapun versi-versi tersebut sebagi berikut :

Versi Gending Raspuzi (Pikiran Rakyat, 2002 : 17). Riwayat sebelum mendirikan sebuah perguruan bernama Penca Cimande, Ayah Kahir pernah tinggal dan mengajarkan ilmunya di kota Kabupaten Cianjur. Di kota ini pada tahun 1770 ia menikahi seorang wanita setempat (nama ?) dan bermukim di Kampung Kamurang, Desa Mande, Cianjur. Di kampung ini pula Ayah Kahir mengajarkan maenpo atau penca kepada para pemuda setempat.

Ketenarannya sebagai guru penca menyebabkan bupati Cianjur Aria Wiratanudatar IV atau Dalem Cikundul (1776-1813) memintanya untuk mengajarkan maenpo kepada putera-putera bupati, pegawai kabupaten dan para petugas keamanan. Tahun 1815, Ayah Kahir ke Bogor dan menetap di Kampung Tarikolot, Desa Cimande Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Di Bogor ini pula ia meninggal dunia pada tahun 1825.

Versi Ensiklopedi Sunda (2000 : 217). Abah Kohir adalah perintis dan penyebar Penca Cimande di Tatar Sunda pada abad XVIII. Beliau dikabarkan berasal dari Kampung Talaga di Majalengka kemudian pindah dan bermukim di Kampung Kamurang, Desa Mande, Kecamatan Cikalong Kulon, Kabupaten Cianjur.

Sebelum dikenal sebagai guru silat, Abah Kohir atau Embah Kohir terkenal sebagai ahli kebatinan di kota Kabupaten Cianjur. Kepandaiannya bermain penca diketahui melalui adu laga dengan seorang Cina yang berasal dari Makao yang mahir beladiri Kuntao (salah satu jenis beladiri yang berasal dari dataran Tiongkok).

Dikisahkan bahwa pada suatu hari ada orang Cina yang melanggar ketertiban umum, maka ia kemudian ditangkap oleh petugas Kabupaten Cianjur. Dalam penangkapan itu, orang Cina tersebut melakukan perlawanan, melecehkan petugas dan menantang adu laga dengan siapa saja. Pada waktu itu petugas keamanan kewalahan dan tidak bisa berbuat banyak.

Ayah Kohir atau Embah Kohir kemudian diminta oleh bupati Cianjur untuk meladeni tantangan orang Cina tersebut sekaligus menangkapnya. Ayah Kohir menyanggupi permintaan bupati, maka dilakukanlah pertarungan di alun-alun kabupaten disaksikan oleh bupati dan masyarakat kota Cianjur. Dalam pertarungan itu, Ayah Kohir dapat mengalahkan orang Cina tersebut dan menyerahkannya kepada bupati. Melihat keberhasilan itu, bupati kemudian meminta Ayah Kohir untuk melatih penca para petugas keamanan Kabupaten Cianjur.

Dikisahkan selanjutnya, beberapa waktu kemudian (?) di Kabupaten Bogor sedang terjadi kerusuhan (?). Bupati Bogor (?) meminta kesediaan Ayah Kohir untuk membantu memadamkan dan menumpas perusuh. Atas persetujuan bupati Cianjur, Ayah Kohir kemudian ke Bogor dan kerusuhan dapat dipadamkan. Atas keberhasilan ini beliau kemudian diminta mengajarkan penca kepada para petugas keamanan. Selama di Bogor Ayah Kohir atau Embah Kohir bermukim di kampung Tarikolot dekat Sungai Cimande, di sana ia mengajarkan penca kepada masyarakat umum dan mendirikan perguruan Cimande. Perguruan kemudian diserahkan kepada keturunannya (?) dan ilmu silat ini kemudian tersebar. Ayah Kohir kemudian pindah dari Kampung Tarikolot ke kota Kabupaten Bogor ke suatu tempat bernama Tanah Sereal dimana akhirnya beliau meninggal dunia di sana.

Versi Agus Suganda (wawancara tanggal 10 Juli 2002) mengungkapkan kisah penemuan jurus tersebut. Mbah Khaer (sebutan lain Ayah Kahir) pada suatu waktu di subuh hari hendak mencuci beras sekaligus berwudlu ke sebuah talang (saluran air) di sisi Sungai Cimende. Ia berbekal sebuah boboko berisi beras (wadah tempat mencuci beras) dan sebuah lampu/pelita untuk menerangi perjalannya ke talang tersebut. Sesampai di dekat talang, ia melihat suatu pemadangan aneh yang baru pertama kali dilihatnya. Di depannya sedang berlangsung pertarungan sengit 2 ekor hewan yaitu seekor harimau dengan seekor monyet. Dalam perlihatannya bagaimanapun harimau tersebut berusaha menekan sang monyet tetapi selalu berhasil dielakkan, demikian pula sang harimau selalu berhasil menangkis serangan gencar sang monyet. Kedua binatang ini tidak menyadari bahwa tingkah laku mereka sedang diperhatikan dengan seksama oleh seorang manusia. Hingga akhirnya pertarungan tersebut selesai tanpa menimbulkan luka berarti pada keduanya dan mereka kabur berlainan arah. Mbah Khaer segera mencuci berasnya dan setelah berwudlu ia cepat-cepat kembali ke rumah karena ia teringat bahwa suaminya selalu pulang pada pagi hari.

Dalam kisah ini Mbah Khaer diriwayatkan sebagai seorang wanita yang mempunyai tugas sebagaimana halnya seorang isteri yaitu mempersiapkan sarapan bagi suaminya. Sesampai di rumah ternyata sang suami telah menunggu dengan muka marah, dan tanpa bertanya apa-apa sang suami langsung menyerang isterinya. Sang suami adalah salah seorang jawara dikampung tersebut yang pekerjaannya pergi malam pulang pagi, sering mabuk-mabukan dan berjudi. Sedangkan sang istri adalah seorang santri dan ibu rumah tangga.

Mendapat serangan tiba-tiba dari suaminya, Mbah Khaer spontan berkelit mengikuti gerakan monyet yang dilihatnya bertarung tadi. Penasaran dengan serangannya yang gagal kembali sang suami menyerang dengan pukulan dan tendangan. Mbah Khaer sambil menggendong boboko berisi beras terus berkelit menghindari serangan suaminya tanpa sekalipun membalas meskipun selalu ada kesempatan untuk itu. Apa yang dilihatnya di talang tadi ternyata memberi ilham baginya untuk menghindar dan menangkis serangan sang suami.

Sang suami akhirnya menghentikan serangannya karena kelelahan ditambah rasa penasaran akan kemampuan istrinya yang dapat dengan mudah menghindari semua serangan-serangannya. Padahal ia terkenal sebagai seorang jawara di tempat itu. Akhirnya ia mengaku takluk dan mengemukakan niat untuk mempelajari jurus-jurus tersebut kepada istrinya. Singkat cerita sang istri kemudian mengajarkan jurus-jurus tersebut dan sang suami adalah murid pertamanya.

Menurut Agus Suganda nama murid pertama Embah Khaer adalah Ayah Kholiah yang berarti juga adalah suaminya sendiri, nama ini terdapat dalam pertalekan Cimande pada urutan kedua setelah nama Mbah Khaer. Dan peristiwa tersebut berlangsung di Kampung Tarikolot dekat Sungai Cimande Kabupaten Bogor

Dari ketiga versi di atas, tidak satupun yang memberikan informasi tentang awal mula (secara absolut) lahirnya Penca Cimande, meskipun ketiganya mendukung fakta bahwa Cimande dilahirkan di Kampung Tarikolot Desa Cimande Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Namun demikian pada informasi dari versi Gending Raspuzi ada disebut angka tahun tentang perkawinan Ayah Kahir dengan wanita asal Cianjur yaitu tahun 1770 (Abad XVIII), kemudian Ayah Kahir pindah ke Kabupaten Bogor pada tahun 1815 dan mendirikan perguruan di Cimande di sana dimana ia kemudian meninggal pada tahun 1825. Ini mengisyaratkan bahwa waktu lahir Perguruan (Sunda = Paguron) Penca Cimande antara tahun 1815 sampai 1825, sehingga dapat ditarik suatu asumsi bahwa aliran penca Cimande ditemukan dalam kurun waktu tersebut berdasarkan alasan bahwa sebuah karya selalu lahir dalam kurun waktu kehidupan penciptanya.

Sumber dari versi ketiga (Agus Suganda) juga tidak menyebut angka tahun bahkan kisahnya mengarah pada Oral History (penyampaian cerita/kisah dari mulut ke mulut) yang lebih bersifat dongeng dalam periwayatannya. Namun pada versi ini dapat dilihat pola penemuan jurus-jurus Cimande dalam keadaan tidak disengaja. Dalam teori Antropologi seperti yang dikemukakan oleh Dixon yang dikutip oleh Prof. Harsojo (1982 : 177-178) bahwa tipe penemuan seperti di atas disebut gejala discovery, yaitu suatu proses pra penemuan yang memenuhi 3 hal yaitu kesempatan, pengamatan, penilaian dan penghayalan. Disamping itu harus ada pula keinginan dan ada kebutuhan. Ketiga hal dalam gejala discovery ini terbentuk dalam kisah Mbah Khaer dalam menemukan jurus Cimande, yaitu adanya kesempatan yang tidak disengaja melihat pertarungan seekor Harimau dengan seekor Kera. Dari pertarungan itu secara langsung (otomatis terjadi pengamatan) dimana Mbah Khaer terus memperhatikan pertarungan tersebut. Dalam hal penilaian dan penghayalan, bahwa manusia dianugrahi memori untuk mengingat kejadian yang berkesan baginya, ini kemudian keluar tanpa disadari (hal pertarungan tersebut) ketika Mbah Khaer diserang oleh suaminya, dan pada saat inilah keinginan mengelak atau menghindari serangan dari suaminya menjadi unsur kebutuhan Mbah Khaer.

Penemuan discovery ini juga disebut penemuan secara kebetulan, dan memang penuturan Agus Suganda tentang kisah Cimande berlangsung secara kebetulan, ini yang membedakannya dengan invention atau penemuan sebagai suatu hasil usaha yang sadar (Ibid : 177), sebab dari ketiga versi di atas tidak satupun yang mengemukakan bahwa Ayah Kahir atau Abah Kohir atau Embah Kohir atau Mbah Khaer pernah berguru kepada suatu perguruan silat sebelumnya. Informasi dari Ensiklopedi Sunda bahwa Abah Kohir atau Embah Kohir sebelum dikenal sebagai guru penca, beliau adalah seorang ahli kebatinan. Dapat diinformasikan di sini bahwa untuk mengolah ilmu kebatinan tidak diperlukan latihan silat, bahkan dalam kisah-kisah penemuan ilmu-ilmu yang bersifat irrasional sering dilakukan sikap semedi (Jawa = tapa) dan olah nafas yang tidak memerlukan gerakan-gerakan silat. Walaupun dimasa sekarang ada perguruan yang telah memadukan keduanya artinya dalam gerakan mengandung tenaga dalam atau tenaga inti. Tetapi untuk kasus Cimande, penggunaan tenaga dalam menjadi bagian tersendiri yang berfungsi sebagai penunjang gerakan silat. Itupun tidak dimiliki oleh semua murid Cimande tergantung pada kematangan dan kesiapan sang murid.

Meskipun keduanya berbeda dalam proses penemuannya, akan tetapi discovery dan invention memenuhi kriteria sebagai unsur-unsur kebudayaan yang pernah diketemukan untuk pertama kali dan dipergunakan untuk pertama kali di dalam masyarakat tertentu (Ibid:). Dari ketiga versi di atas semuanya mengemukakan bahwa aliran silat (penca) Cimande ditemukan pertama kali dan dikembangkan oleh Ayah Kahir atau Abah Kohir atau Embah Kohir atau Mbah Khaer, dan berlangsung pertama kali di Tatar Sunda atau di Tanah Pasundan dalam hal ini Kampung Tarikolot, Desa Cimande, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor.

TTKKDH

Dalam perkembangan aliran penca Cimande yaitu setelah para murid menyelesaikan pendidikan di Bogor, mereka kemudian menyebar dan ada yang kembali ke daerah asal mereka masing-masing. Embah Buyah salah seorang murid Embah Main (dalam pertalekan berada di posisi 5 dan 6, tentang urutan ini lihat Bab IV) kemudian kembali ke Kampung Oteng di Kecamatan Warunggunung Kabupaten Lebak, selanjutnya melakukan petualangan ke daerah Lampung Peristiwa ini diperkirakan berlangsung dalam tahun 1948.

Embah Buya yang orang asli Kabupaten Lebak, sebelum berguru kepada Embah Main berprofesi sebagai pedagang tembakau yang menjual dagangannya ke Karawang. Di Karawang Embah Buya kemudian menikah dengan wanita Karawang bernama Asten yang juga adalah murid Cimande Mbah Main atau dikalangan warga Cimande (sebutan bagi murid Cimande) disebut Ibu Asten (wawancara dengan Agus Suganda) atau Embah Dosol (wawancara dengan Bapak Husin dan Bapak Ahmad Fatoni). Embah Buyah menerima pendidikan penca Cimande dari Embah Main yang mendirikan pusat pelatihan di kebun jeruk beliau di sebelah hilir, dimana Embah Main memiliki 2 buah kebun jeruk satu di girang satunya di hilir. Sebutan girang dan hilir merujuk pada posisi suatu tempat yang berada pada posisi di atas dan di bawah. Jadi kebun jeruk hilir adalah menunjukkan letak kebun tersebut di posisi lebih rendah dari kebun jeruk lainnya.

Embah Buyah kemudian melanjutkan pengembangan penca Cimande di Lampung dengan membuka paguron yang menerima murid khusus orang-orang Jawa. Penerimaan murid dari kalangan orang Jawa dilatarbelakangi suatu kisah seperti yang dituturkan oleh Agus Suganda bahwa suatu waktu ada orang Melayu Lampung berniat berguru kepada beliau, ternyata kemudian si orang Melayu tersebut hanya ingin menguji kemampuan Embah Buyah. Embah Buyah tidak menyenangi hal itu sehingga beliau kemudian mengusir orang tersebut bahkan kemudian beliau menyatakan tidak akan mau menerima orang Melayu yang berasal dari Lampung.

Paguron Cimande Embah Buyah di Lampung kemudian diberi nama Tjimande Tarikolot Kebon Djeruk Hilir. Tampaknya Embah Buyah memberi nama paguronnya didasari tanda bakti beliau kepada pendiri dan guru penca beliau, dimana pendiri penca Cimande yaitu Embah Khaer mendapatkan ilmu silatnya di Kampung Tarikolot dekat Sungai Cimande, kemudian penamaan Kebon Djeruk Hilir mengadopsi nama tempat Embah Buyah menerima ilmu penca Cimande dari Embah Main, gurunya. Tahun 1951 dibuatlah suatu aturan hukum yang sifatnya mengikat kepada seluruh warga TTKKDH yang disebut pertalekan Cimande (tentang pertalekan ini, lihat Bab IV). Tujuannya adalah sebagai pengarah tertulis bagi murid sekaligus penjaga nama baik bagi TTKKDH itu sendiri. Pada tahun 1953, Embah Buyah kembali ke Kampung Oteng dan mendirikan paguron TTKKDH di sana. Meski tidak diperoleh informasi kapan Embah Buyah meninggal dunia, namun TTKKDH terus berkembang sepeninggal beliau. Murid-muridnya meneruskan tradisi dan paguron TTKKDH dan sejak ditangani oleh Embah Ranggawulung nama TTKKDH melekat sampai sekarang pada perguruan silat Cimande ini.

Sumber lain memberikan informasi tentang TTKKDH adalah bahwa penamaan Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir mengandung maksud semacam falsafah bagi setiap warga Cimande. Tjimande mengandung 2 pengertian yaitu kata Tji dalam bahasa Sunda berarti air dan mande berarti suci. Tari dikonotasikan dengan tanya atau pertanyaan. Kolot mengandung makna sesepuh atau orang yang dituakan ada juga yang mengartikan sebagai kata kesti atau membudayakan kebenaran. Kebon adalah suatu lahan pekerjaan untuk mendapatkan hasil yang halal atau bermakna wadah untuk mencapai keselamatan. Djeruk diartikan sesuai bentuk dan rasanya yaitu bentuk besar berarti manis, bulat berarti bersatu dalam satu wadah, dan kulitnya yang terasa pahit diartikan sebagai barang yang tidak bermanfaat. Hilir mengandung makna harus selalu merendahkan hati tidak sombong dan mengalah untuk menang, hilir yang berposisi di bawah juga diartikan sebagai tempat menampung apa saja kemudian disaring dan mengambil yang bermanfaat. Hilirpun juga diartikan penyelesaian masalah dengan musyawarah (Wawancara dengan A. Ridwan, tanggal 11 Juli 2002). Dari uraian di atas, maka Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir secara luas mempunyai pengertian : Dalam kehidupan selalulah berusaha mendapatkan sesuatu dari pekerjaan yang halal, dan jika menghadapi suatu masalah selesaikan dengan musyawarah atau meminta bimbingan kepada sesepuh atau orang yang mengerti permasalahan tersebut serta seyogyanya untuk selalu bantu-membantu (gotong royong) dalam melaksanakan kepentingan bersama. Pengertian di atas menempatkan TTKKDH sebagai alat pemersatu dengan misi utama (lihat pertalekan Bab IV) menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan individu maupun masyarakat.

TTKKDH juga memiliki ciri khas lain yaitu adanya prinsip “jika terpegang, kita memegang”. Paguron Cimande lainnya (disebut Cimande Girang) memilki prinsip lain yaitu “bila terpegang menyerang”. Prinsip TTKKDH lainnya adalah di setiap latihan selalu ada nyala lampu (pelita), ini dijadikan syarat pelatihan yang juga mengikuti perbuatan Embah Khaer ketika ia pegi ke tepi sungai Cimande. Oleh karena itu awal latihan Cimande bagi murid baru selalu dimulai pada malam hari terutama Kamis malam.

Jurus-jurus Penca Cimande dan TTKKDH

Dalam riwayat lahirnya Penca Cimande dikisahkan bahwa Embah Khaer mengadopsi gerakan tarung dua ekor binatang yaitu Harimau dan Kera. Menurut penuturan Agus Suganda, pada awal pelatihan atau sebelum terbentuknya TTKKDH belum ada istilah jurus-jurus Cimande, bahkan paguron resmi bernama Cimande pun belum ada, yang ada adalah jurus pamacan dan pamonyet yaitu pengembangan gerakan jurus serang-elak (istilah Agus Suganda timpa-buang) yang berasal dari tingkah kedua binatang tersebut.

Setelah terjadi perkembangan yaitu setelah masyarakat menerima penca Cimande ini, terjadilah persebaran ke seluruh Jawa Barat dan Banten kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Dari segi teknik, jurus-jurus Cimande ada yang mengalami perubahan baik berupa penambahan ataupun perampingan, namun demikian perubahan tersebut tidak sampai menghilangkan esensi jurus dalam Cimande.

Gending Raspuzi mengemukakan bahwa secara umum pola dasar Penca Cimande menggunakan sistem perkelahian jarak jauh, yaitu mengambil jarak sepanjang langkah kaki dan sejauh ujung tangan dari lawan. Kegunaannya adalah menghindari serangan lawan. Adapun secara garis besar teknik Penca Cimande terdiri dari buang kelid, jurus pepedangan, dan tepak selancar (PR, Loc.Cit). Jurus buang kelid merupakan kumpulan teknik pertahanan yang dilanjutkan dengan serangan, maksudnya adalah diharapkan murid dapat menguasai beberapa teknik yang menjadi dasar pengembangan naluri manusia untuk membela diri. Pepedangan yaitu latihan penggunaan senjata dengan memakai sepotong bambu berukuran ± 40 cm atau disesuaikan dengan pemakainya, maksudnya adalah selain untuk belajar menguasai beragam jenis senjata juga melatih kelincahan kaki dalam melangkah maupun perubahan posisi kuda-kuda. Adapun tepak selancar adalah aspek seni dalam Penca Cimande yang berupa ibing atau tarian yang diambil dari beberapa jurus buang kelid (Ibid). Adapun maksud tepak selancar ini adalah bahwa Penca Cimande tidak semata-mata mengajarkan ilmu bela diri tetapi juga sekaligus memperlihatkan aspek keindahan suatu seni bela diri melalui pertunjukan tarian Cimande.

Pada TTKKDH, jurus-jurus Cimande disusun secara berurut dengan jumlah gerak jurus 19 buah dan 1 jurus tanpa gerak atau “rahasia” atau aya wenangan (Agus Suganda). Diantara kesembilan belas jurus TTKKDH tersebut adalah Kelid Gede, Kelid Leutik, Po Jero, Po Luar, Selut, Timpa Sebelah, Gojrok, Getrak Luhur, Getrak Handap, Kepretan, dan Guntingan. Adapun jurus ke duapuluh atau jurus rahasia tersebut disebut demikian karena sifatnya lebih mengarah kepada aspek kerohanian yaitu kematangan seorang murid Cimande menyebabkan ia mampu mengendalikan diri atau bersifat seperti padi. Artinya jurus terakhir ini dikembalikan kepada sang murid sendiri untuk mencapai dan mengolahnya, sepanjang tidak bertentangan dengan Talek Cimande.

Perkembangan TTKKDH

Sejak didirikan pada tahun 1953, TTKKDH wilayah Kabupaten Lebak terus mengalami perkembangan demikian pesat sampai saat ini. Kemudian meskipun tidak ada kepastian tentang jumlah muridnya, namun sepanjang pengamatan penulis baik ketika penulis masih berstatus sebagai tenaga SP3K di Kecamatan Cimarga Kabupaten Lebak (1995-1997) dan ketika penelitian ini laksanakan (2002), jumlah murid TTKKDH cenderung mengalami penambahan. Hal ini terjadi karena TTKKDH memiliki pola perekrutan murid baru yang cukup unik yaitu pada saat acara keceran sering ditampilkan atraksi berupa ibingan atau igelan yaitu pergelaran tarian silat yang diiringi musik tradisional. Dan meskipun sederhana, alat-alat musik yang terdiri dari gendang, terompet, dan gong mampu memukau penonton ditambah atraksi tarung silat yang diperagakan jawara-jawara TTKKDH. Dari kondisi ini kemudian menimbulkan daya tarik bagi penonton yang belum menjadi warga TTKKDH. Agus Suganda menyebutkan setiap bulan ada sekitar 3 sampai 5 orang yang masuk menjadi murid diluar keluarga para jawara TTKKDH. Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mencatat jumlah pasti murid-murid tersebut, sebab disetiap desa sebagai wilayah ranting TTKKDH di Kabupaten Lebak selalu ada beberapa keluarga TTKKDH yang artinya selain orang tuanya, anak-anaknya juga menjadi murid TTKKDH, dan Agus Suganda menjamin mereka bisa ditampilkan kapan saja. Tampaknya regerasi penurunan ilmu Cimande versi TTKKDH terus berjalan sampai saat ini.

Dalam perkembangannya Cimande yang dulu diklaim sebagai milik etnis Sunda (Jawa Barat dan Banten) kemudian menasionalisasikan diri dengan melakukan persebaran ke hampir seluruh wilayah Indonesia. Mbah Buyah yang menerima Cimande dari Mbah Main di Karawang melanjutkan pengembangan dengan mendirikan TTKKDH justru di luar wilayah Jawa Barat dan Banten yaitu di Lampung yang dikenal sebagai daerah orang-orang Melayu. Lebih jauh dari itu pencak Cimande tidak hanya berada di Indonesia, mancanegara juga turut mengembangkannya dengan memakai pelatih-pelatih dari aliran Cimande Indonesia seperti Perguruan Pajajaran Nasional yang didirikan oleh Sidik Sakabrata di Belanda atau Perguruan Pencak Silat Mande Muda yang didirikan oleh Herman Suwanda di Amerika Serikat. ini mengindikasikan bahwa budaya leluhur bangsa Indonesia tersebut diterima berbagai pihak dan berbagai kalangan.

TTKKDH tidak pernah melakukan promosi khusus untuk menerima murid baru, mereka para calon murid datang sendiri kemudian diperlihatkan Talek Cimande dan diberikan pengarahan seperlunya tentang TTKKDH, setelah itu keputusannya diserahkan kembali kepada mereka apakah tetap mau masuk menjadi murid atau tidak. Demikian ungkapan Agus Suganda tentang pola perekrutan murid bagi TTKKDH. Biasanya setelah diberikan informasi mereka menyatakan persetujuannya, lanjutnya. Ini berbeda dengan beberapa perguruan silat lain yang melakukan promosi secara langsung untuk menerima murid baru, misalnya perguruan Santria Nusantara (perguruan ini lebih mengarah kepada teknik penyaluran dan pemanfaatan nafas terutama untuk pengobatan, tetapi dimasukkan sebagai anggota IPSI) yang secara berkala melakukan promosi melalui berbagai media. Bagi TTKKDH calon murid tidak perlu dipanggil, mereka akan datang sendiri untuk berlatih setelah persayaratan disetujui. Jadi sifatnya adalah kesiapan calon murid diutamakan sedangkan kesiapan pelatih selalu tersedia. Ini dimungkinkan sebab pelatihan TTKKDH berlangsung di malam hari dimana biasanya jawara TTKKDH melakukan aktiftas rutin di siang hari dan pada malam harinya mereka beristirahat jika sedang tidak berlatih. Apalagi bila tiba malam Jumat (Kamis malam) yang merupakan malam wajib latih bagi murid TTKKDH.

Adapun mengenai jumlah murid TTKKDH sampai dengan tahun 2002, Agus Suganda menyebutnya “sangat sulit dihitung”. Ini terjadi karena selain tersebar mereka rata-rata terdiri dari kaum keluarga, meskipun beberapa diantaranya berasal dari lingkungan luar keluarga. Bukan berarti tidak ada catatan tentang sang calon murid, sebab sebelum resmi menjadi murid, calon murid diharuskan mengisi semacam formulir yang sebenarnya adalah biodata. Tujuannya adalah untuk mengetahui data diri murid tersebut. Alasan penggunaan biodata ini lebih bersifat informal yaitu untuk kebutuhan sang pelatih sendiri bahwa dia telah mengajar simurid. Bagi sang murid boidata tersebut dapat menjadi bukti bahwa dia juga warga TTKKDH yang mendapat pengajaran dari gurunya tersebut.

Pada saat ini pusat TTKKDH yang berada di kota Serang telah membuat kartu anggota mempunyai masa waktu 2 tahun, tetapi belum semua murid TTKKDH mendapatkan fasilitas tersebut. Penggunaan masa berlaku kartu 2 tahun mengandung maksud bahwa dalam masa tersebut sang murid atau warga TTKKDH belum melanggar Talek Cimande. Juga menjadi pertimbangan (semacam ikatan waktu meskipun dibuat selonggar-longgarnya) bagi murid TTKKDH untuk beralih perguruan atau keluar sama sekali. Namun demikian mengurut dari isi Pertalekan Cimande sepanjang tidak melakukan pelanggaran, maka yang bersangkutan tetap menjadi murid TTKKDH sekalipun tidak pernah lagi melakukan latihan.

Dampak yang Ditimbulkan

Aktifitas dalam kehidupan manusia selalu berhubungan dengan hukum kausal yaitu sesuatu yang bersebab dan akhirnya berakibat. Demikian pula TTKKDH. Menjadi murid TTKKDH adalah suatu kebanggaan karena selain memiliki ilmu beladiri, secara tidak langsung juga menjalin hubungan secara luas dari berbagai latar belakang. Di sisi lain TTKKDH menjadi wadah pemersatu bagi murid-murinya yang berasal dari beragam identitas dan intensitas.

Dampak lain yang dirasakan adalah terciptanya jiwa mandiri dan berani mempertahankan yang hak. Seorang jawara memang dituntut untuk percaya diri pada kemampuan dari sendiri sebatas kesanggupan yang dimilikinya.

UPACARA DI LINGKUNGAN TTKKDH

Pertalekan TTKKDH

Setiap perguruan silat mempunyai kode etik yaitu semacam hukum perguruan yang wajib dipatuhi oleh para warganya. Kode etik tersebut sifatnya mengikat dimana pelanggaran terhadap kode etik ini akan menyebabkan si pelanggar akan terkena sanksi seperti dikeluarkan dari perguruan, tidak dibenarkan menggunakan atribut perguruan lagi, bahkan jika sipelanggar ternyata tidak perduli terhadap hukum perguruannya dimana setelah diberi hukuman masih melakukan pelanggaran lagi, terkadang sang guru atau murid yang dipercaya terpaksa turun tangan menyelesaikan masalah dengan cara menantang sipelanggar adu ilmu dengan tujuan membuatnya jera.

Demikianlah TTKKDH juga memiliki kode etik atau hukum tersendiri yang disebut Talek Cimande dan diberlakukan kepada seluruh warga perguruan dimanapun berada sepanjang masih hidup di dunia dan masih mengakui Talek Cimande merupakan pengisi dan pengekang hawa nafsu dan sifat-sifat yang dapat merugikan semua pihak. Ada sebuah pertanyaan tentang pengguanaan kata Cimande pada pertalekan ini yaitu mengapa digunakan kata “Cimande” dan bukan TTKKDH. Beberapa alasan dapat menjadi jawaban bagi pertanyaan tersebut diantaranya timbulnya rasa kekaguman maupun tanda bakti kepada asal-usul TTKKDH sehingga dalam talek ini disebut Cimande. Selain itu TTKKDH memang merupakan turunan ilmu silat Cimande sebagai dampak dari perkembangan dan persebaran ilmu silat ini yang dilakukan oleh murid-muridnya. Penggunaan tersebut juga sekaligus memperlihatkan sebuah pengakuan bagi TTKKDH yang tetap mengakui Cimande sebagai induknya dan menjadi identitas secara umum dalam warga Cimande. Adapun isi pertalekan TTKKDH tersebut adalah sebagai berikut :

Asyhadu Anlaailaha Illallaah, Waasyhadu Anna Muhammadarrasuulullaah

PERTALEKAN SILAT CIMANDE

1. Kedah patuh sareng taat ka Ibu Bapak, ka guru-guru, karatu, khususna Allah S.W.T sareng Rasulullah S.A.W.

2. Kedah sanggup bagai siswa Cimande ngalaksanakeun sholat lima waktu termasuk sunah Nabi.

3. Teu kenging miheulaan, tapi oge teu kenging kapiheulaan.

4. Teu kenging ujub, ria, takabur, atanapi sum’ah.

5. Teu kenging nyela, nyaci-nyaci kana kaulinan batur pencak nu sanes golongan Cimande.

6. Teu kenging bohong, nipu, lecor tina jangji kasaha bae.

7. Teu kenging ngulinan pamajikan batur, teu aya kacualina, keur sanaos lengoh (ka istri lengoh) oge anu sifatna ngalanggar tina kahormatan nah eta teu kenging.

8. Teu kenging nikah ka tilas dulur sapelajaran silat Cimande, upami teu aya musyawarah ti payun.

9. Teu kenging ngalanggar M7, sapartos : Maen, Maling, Minum-minuman, Mangani, Madon, Madat, Mateni.

10. Teu kenging latihan wengi Saptu sareng dintena, wengi Senen sareng dintena.

11. Kedah uninga kana asal usulna anu ngagaduhan silat ieu nyaeta :

1. Embah Khohir 5. Embah Main

2.Hayah Kholiah 6. Embah Buyah di Simpang Martapura

3. Hayah Khursi 7. Embah Ranggawulung (di Tari Kolot Cimande)

4.Embah Endut 8. Embah Rd. H. Ace (di Tari Kolot Cimande)

12. Maksud guna silat Cimande ieu kanggo ngajagi Lima Bagian nyaeta:

1. Jiwa

2. Agama Islam

3. Kaluarga

4. Harta

5. Nagara upami diparyogikeun

13. Silat Cimande ieu pantang mundur sanaos sajungkal beas.

14. Kedah uninga kawajiban bagi para siswa Silat Cimande diwajibkeun setiap wengi Jum’at ngayakeun rurujakan (selametan), urutan, tanpa batas, oge upami tos kenging 7 Jum’at ti ngawitan lebet kedah diayakeun syukuran. Oge perlu kauninga setiap wengi Jum’at dina setiap sasih Mulud wajib dikeceran (dipeureuh) sataun sakali.

15. Perlu kauninga Silat Cimande ieu teu ngagaduhan peupeuhan, tonjokan, sepakan sareng sajabina anu sifatna pikeun nganiaya kasasama kacuali Cindekna “Tak akan menyerang tapi bila diserang”.

16. Saparangosna lebet kana Silat Cimande kedah leres-leres ngajagi nama baik Cimande, kalayan urang kedahna handap asor, sopan santun ngahadapkeun diri kasaha bae, keur sanaos urang dihina basa anatapi diciduhan sakali dua kali mas usap bae nanging upami langkung ti kitu eta penghinaan the ku urang kedah dihindarkeun sesuai sareng anu tilu bagian dihandap ieu :

1. Hutang kedah enggal mayar

2. Nambut kedah enggal mulangkeun

3. Jangji kedah tepat.

17. Saparantosna lebet kana Silat Cimande kedah leres-leres ngangkeun dulur saibu sabapak. Hal ieu anu cocok pisan sareng sabda Nabi anu pihartoseunnana kirang langkung kieu : Karunya kadiri dulur the kedah karunya sapartos kadiri urang sorangan.

18. Perhatosan : Sanggup atanapi keunteu mentaati Talek anu kasebat diluhur bieu?

19. Sangsi-sangsi :

Upami salah sahiji anggota pelajar Silat Cimande ngalanggar tina salah sahijina Talek anu kasebat diluhhur bieu maka Pelatih teu tanggung jawab.

20. Sakitu pertalekan Silat Cimande sebagai garis ageungna pamugi diamalkeun sakumaha anu dimaksad diluhur bieu kalayan Talek anu ieu tos disahkaeun ku para sesepuh Silat Cimande.

21. Talek ieu disusun tur disebar luaskeun kapara pelajar Silat Cimande di seluruh tanah air.

1. Jawa Barat 7. Tanjung Pinang (Riau)

2. Jawa Tengah 8. Timor Timur

3. Jawa Timur 9. Jambi

4. Sumatera Selatan 10. Padang

5. Kalimantan Barat 11. Sulawesi

6. Kalimantan Tengah

Dari tanggal : 1 Januari 1951

Oleh Abah : Madtaris bin Abdullah Jln. Toplas Cibuah Desa Baros

Kec. Warungggunung Kab. Lebak

Sumber : Arsip Agus Suganda

Terjemahan :

Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah

dan Aku bersaksi bahwa Muhammad itu pesuruh Allah

KODE ETIK (IKRAR) SILAT CIMANDE

1. Harus patuh dan taat kepada ibu, bapak, guru-guru, para pemimpin khususnya kepada allah S.W.T dan Rasulullah Muhammad S.A.W.

2. Harus sanggup bagi murid Cimande untuk melaksanakan shalat 5 waktu termasuk sunah-sunah nabi.

3. Tidak boleh mendahului, tetapi juga tidak boleh didahului.

4. Tidak boleh bangga diri, sombong, takabur, ataupun sum’ah.

5. Tidak boleh mencela dan mencaci-maki permainan silat di luar Cimande.

6. Tidak boleh berbohong, menipu, dan ingkar janji kepada siapapun juga.

7. Tidak boleh mengganggu isteri orang, tanpa kecuali termasuk wanita yang telah menyendiri atau yang masih gadis dan segala yang sifatnya melanggar kehormatan wanita.

8. Tidak boleh menikahi bekas isteri seperguruan silat Cimande, apabila tidak ada musyawarah sebelumnya.

9. Tidak boleh melanggar M7, seperti : main judi, mencuri, mabuk-mabukan, memakan hak orang lain, main perempuan tanpa hak, mengisap ganja (narkoba), dan membunuh manusia.

10. Tidak boleh latihan pada Jumat malam dan hari sabtu, Minggu malam dan hari Senin.

11. Harus ingat kepada leluhur yang merintis dan menciptakan silat ini yaitu :

1. Embah Khohir 5. Embah Main

2.Hayah Kholiah 6. Embah Buyah di Simpang Martapura

3. Hayah Khursi 7. Embah Ranggawulung (di Tari Kolot Cimande)

4.Embah Endut 8. Embah Rd. H. Ace (di Tari Kolot Cimande)

12. Maksud kegunaan silat Cimande adalah untuk menjaga 5 bagian yaitu :

1. Jiwa

2. Agama

3. Keluarga

4. Harta

5. Negara bila diperlukan

13 Silat Cimande ini pantang mundur walaupun sejarah sebutir beras.

14. Harus ingat kewajiban bagi seluruh siswa Cimande yaitu bahwa setiap malam Jumat (Kamis malam) diwajibkan melaksanakan acara selamatan dan urutan (mengurut kedua lengan) tanpa batas waktu. Juga apabila telah sampai 7 Jumat sejak dari awal menjadi warga Cimande, harus melaksanakan acara syukuran. Juga perlu diperhatikan setiap malam Jumat dalam bulan Maulud (bulan Rabiul Awwal) wajib di peureuh diteteskan setahun sekali.

15. Perlu diperhatikan silat Cimande tidak mempunyai pukulan, tinju, tendangan dan semua yang bersifat dapat menganiaya kepada sesama (manusia), kecuali berpegang pada prinsip tidak akan menyerang sebelum diserang.

16. Sesudah menjadi warga silat Cimande harus/wajib menjaga nama baik Cimande, demikian pula harus bersikap rendah hati, sopan santun bila berhadapan dengan siapapun, meskipun kita dihina dengan kata-kata bahkan diludahi sekali-dua kali cukup diusap/dibersihkan saja. Tetapi bila lebih dari itu maka penghinaan tersebut harus ditolak dengan 3 prinsip sebagai berikut :

1. Berhutang harus cepat dilunasi

2. Meminjam harus segera dikembalikan

3. Berjanji harus ditepati.

17. Setelah menjadi warga silat Cimande, benar-benar menganggap warga Cimande lainnya seperti saudara seibu sebapak. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi (Muhammad S.A. W) yang berbunyi “Sayang dan perhatian kepada saudara seperti sayang dan perhatian kepada diri sendiri.

18. Perhatian : Sanggup atau tidak mentaati kode etik yang telah disebutkan di atas.

19. Sanksi : Apabila salah seorang anggota melanggar salah satu butir kode etik di atas, maka pelatih tidak bertanggung jawab.

20. Demikian garis besar kode etik silat Cimande iini, semoga diamalkan semua yang tersebut di atas. Kode etik ini telah disahkan oleh para sesepuh silat Cimande.

21. Kode etik ini disusun dan disebarluaskan ke seluruh tanah air, yaitu di ;

1. Jawa Barat 2. Jawa Tengah 3. Jawa Timur

4. Sumatera Selatan 5. Kalimantan Barat 6. Kalimantan Tengah

7. Tanjungpinang 8. Timor Timur 9. Jambi

10. Padang 11. Sulawesi

Dari tanggal : 1 Januari 1951

Oleh Abah : Madtaris bin Abdullah

Jln. Toplas Cibuah Desa Baros

Kec. Warungggunung Kab. Lebak

Analisis Pertalekan

Talek Cimande merupakan pengisi dan pengekang hawa nafsu dan sifat-sifat yang dapat merugikan semua pihak. Hal ini karena penca Cimande bukan bertujuan menguasai dan berkuasa atas manusia lainnya. Kemudian apabila diperhatikan keseluruhan susunan pertalekan penca Cimande terdapat 2 unsur yang digabungkan menjadi satu yaitu kewajiban menjalankan syiar agama Islam, darma bakti kepada perguruan. Di samping itu terdapat 4 bagian yang digabungkan menjadi satu untain yaitu :

1. Berhubungan dengan ajaran Agama Islam yaitu pada nomor urut 1,2,5,6,7,dan 9.

2. Berhubungan dengan ajaran perguruan yaitu pada nomor urut 2,3,8,10,11,12,13,14,15,16,17,dan 18.

3. Berhubungan dengan ketentuan hukum perguruan pada nomor urut 19.

4. Penutup dan ketentuan tambahan masing-masing pada nomor urut 20 dan 21.

Pada poin yang mengandung ajaran suatu agama memperlihatkan indikasi bahwa TTKKDH berafiliasi kepada agama Islam. Pembuka pertalekan ini yang berupa bacaan dua kalimat syahadat mensyaratkan bahwa warga TTKKDH harus beragama Islam, sebab kedua kalimat syahadat merupakan tanda bagi seseorang yang memeluk agama tersebut. Ini kemudian diperkuat dengan poin 1 dan 2 pertalekan Cimande yaitu kewajiban untuk patuh kepada perintah dan larangan Allah S.W.T, dengan bercermin kepada perilaku Nabi Muhammad S.A.W. serta menunaikan kewajiban selaku umat umat Islam yaitu melaksanakan sholat 5 waktu. Dengan demikian TTKKDH mempunyai misi pengembangan ajaran Islam. Oleh karena itu itu bagi pemeluk agama lain menjadi faktor penghambat untuk menjadi murid TTKKDH, sekaligus memberi suatu tanda bahwa murid-murid TTKKDH berlatar belakang agama Islam.

Setiap perguruan silat juga mengatur sikap dan membentuk kepribadian bagi murid-muridnya. TTKKDH menjunjung tinggi aturan-aturan sikap hidup sosial dengan menonjolkan nilai-nilai solidaritas atau azas kebersamaan. Nilai-nilai solidaritas itu tercermin pada ketentuan dalam pertalekan bahwa warga TTKKDH dilarang menghina, mengumbar kata dan perbuatan tercela kepada kepada perguruan-perguruan silat lainnya. Dalam hal azas kebersamaan TTKKDH mengedepankan sikap jujur dan terbuka guna menghindarkan diri dari sikap sombong, takabur, dan sikap arogan lainnya yang cenderung meremehkan orang lain.

Menarik juga diperhatikan adanya ketentuan dalam TTKKDH yang memuat aturan bahwa bekas isteri kawan seperguruan tidak dapat dinikahi oleh murid TTKKDH lainnya apabila sebelumnya tidak ada musyawarah dengan bekas suaminya. Ini tampaknya mengandung pengertian bahwa murid-murid TTKKDH tetap memberikan perlindungan kepada bekas isterinya disamping adanya musyawarah dimaksudkan untuk mengetahui adakah upaya-upaya dari bekas sang suami untuk merujuk bekas isterinya. TTKKDH juga meninggikan derajat dan kehormatan kaum wanita baik itu wanita yang masih berstatus gadis, pernah bersuami maupun yang masih berstatus bersuami, ketiganya pantang diganggu.

Hal lain yang menjadi pesan dan hukum bagi warga TTKKDH adalah tidak diperkenankannya melakukan latihan pada Jumat malam (malam Sabtu) dan hari Sabtunya serta pada Minggu malam (malam Senin) dan hari Seninnya dengan ketetapan batas waktu antara saat masuk waktu Maghrib hari Jumat sampai dengan Maghrib hari Sabtu dan Maghrib hari Minggu sampai Maghrib hari Senin. Pemberlakuan waktu yang pernah dialami oleh Mbah Buyah yang nyaris mengalami musibah pada waktu-waktu tersebut, sehingga kepada murid dan penerus TTKKDH diwajibkan mentaati ketentuan untuk tidak latihan pada waktu-waktu tersebut.

Dalam pertalekan terdapat keharusan untuk mengenang para pendiri dan leluhur Cimande dan TTKKDH termasuk kepada pelatih yang telah meninggal dunia. Dalam pertalekan tersebut bagi TTKKDH diwajibkan menyebut nama Embah Kohir sampai Embah Buyah (susunannya lihat pertelekan Cimande) terutama pada acara keceran dan peureuhan, setelah itu kepada murid-murid lainnya diharuskan menambah nama pelatihnya yang telah meninggal dunia. Tujuannya adalah menaruh rasa hormat kepada para mendiang atas usaha beliau mewariskan Cimande dan TTKKDH kepada murid-muridnya. Oleh karena itu terdapat beberapa perbedaan nama yang disebut oleh murid TTKKDH sesuai dengan siapa pelatihnya.

Upacara dan Kelengkapan

Pelaksanaan upacara yang berkaitan dengan aktifitas dalam kehidupan manusia merupakan wujud pengakuan manusia akan keterbatasannya yang ditempuh melalui ungkapan rasa syukur atau adanya harapan-harapan tertentu dengan cara berdoa. Dalam upacara sering digunakan simbol-simbol tertentu yang disesuaikan dengan latar belakang budaya masyarakat pendukungnya.

Dalam pertalekan Cimande ada 2 ketentuan yang menjadi syarat bagi warga Cimande untuk melakukan upacara. Ketentuan tersebut tertulis pada poin 11 yang berbunyi : “harus ingat kepada leluhur yang merintis dan menciptakan silat Cimande”, dan poin 14 yang berbunyi : “harus ingat kewajiban bagi seluruh siswa Cimande yaitu bahwa setiap malam Jumat (Kamis malam) diwajibkan melaksanakan acara selamatan dan urutan (mengurut kedua lengan) tanpa batas waktu. Juga apabila telah sampai 7 Jumat sejak dari awal menjadi warga Cimande, harus melaksanakan acara syukuran. Juga perlu diperhatikan setiap malam Jumat dalam bulan Maulud (bulan Rabiul Awwal) wajib di peureuh diteteskan setahun sekali.

Dengan demikian jelaslah bahwa upacara di lingkungan warga TTKKDH yang disebut keceran menjadi unsur wajib selama yang bersangkutan masih mengaku sebagai murid TTKKDH. Pengertian murid di sini adalah mereka yang telah menjalani pelatihan penca Cimande di TTKKDH sekalipun telah berstatus sebagai pelatih. Adapun perlengkapan upacara tersebut terdiri dari:

1. Air dalam wadah berisi 7 jenis kembang

2. Kelapa muda, air dan isinya

3. Selasih

4. Tembakau yang terdiri dari bubuk tembakau, cerutu, sirih, rokok kawung, rokok merek Marchbrand atau Warning. Juga bisa ditambahkan dengan rokok merek lain yang ada pada saat itu diantaranya rokok merek Dji Sam Soe, Gudang Garam, Djarum dan sebagainya.

5. Permen dan roti

6. Rujak pisang

7. Minuman terdiri dari Susu, Kopi manis dan pahit.

8. Aseman berupa perasan air jeruk yang ditambahkan air secukupnya.

9. Nasi tumpeng dan kelengkapannya

10. Minyak rambut dari jenis jelly kental seperti merek Santalia atau Tancho, yang berguna untuk melicinkan lengan pada proses pengurutan.

11. Pedupaan yang terdiri dari kemenyan dan kapas. Kapas digunakan untuk menambah asap, sedangkan kemenyan untuk mengharumkan.

Sedangkan bagi calon siswa selain persyaratan di atas juga diharuskan membawa ayam 1 ekor, ayam ini nantinya dipanggang. Agus Suganda mengemukakan bahwa kesemua perlengkapan upacara tersebut hanya menjadi syarat untuk mengingat makan dan minuman kesukaan leluhur dan sesudah upacara dilaksanakan, maka bahan makanan dan minuman dapat dimakan dan minum bersama. Kemudian untuk tidak memberatkan maka pengadaan perlengkapan tersebut disesuaikan dengan kondisi keuangan sang murid/calon murid.

Upacara keceran harus dilaksanakan pada malam Jumat (Kamis malam) dan tidak dibatasi tempatnya, biasanya di rumah pelatih atau di rumah murid lainnya. Upacara ini biasanya dihadiri oleh para murid, beberapa orang pelatih dan tamu undangan lainnya. Bagi yang mampu dapat juga mengadakan pertunjukan ibingan pada saat keceran tersebut. Bagi murid baru menjadi kewajiban untuk melaksanakannya selama 7 malam Jumat berturut-turut tanpa putus, dan bagi murid lainnya dapat melakukannya sebulan sekali atau semampunya (lebih sering lebih baik) yang penting harus dilaksanakan pada malam Jumat. Selain keceran juga ada upacara lainnya yang disebut peureuhan yang dilaksanakan setahun sekali.

Setelah perlengkapan upacara tersedia, acara dibuka dengan urutan sebagai berikut :

1. Dimulai dengan doa dan puji-pujian kepada Allah S.W.T dan salawat bagi Nabi Muhammad S.A.W.

2. Sekapur siri dari tuan rumah atau orang yang dituakan.

3. Khadarat mengirimkan doa bagi leluhur dan orang tua masing-masing.

4. Pemberian sambutan yang berisi riwayat TTKKDH dan wejangan atau nasehat lainnya.

5. Tawassul yaitu mengirimkan amaliah Surah Alfatihah masing-masing kepada para sahabat Nabi Muhammad S.A.W., para wali Allah, para ulama, keluarga kesultanan Banten dan para leluhur TTKKDH serta kepada para orang tua yang telah meninggal dunia.

6. Kiriman Salawat kepada Nabi Muhammad S.A.W.

7. Pembacaan surah-surah pendek seperti Al Ikhlas, Al Falaq, Annas, Al Fatihah, Al Baqarah (ayat 1- 10), Ayat Kursi, Ayat-ayat terakhir Surah Al Baqarah, tambahan ayat lainnya, istigfar, sahadat tauhid (ini dilakukan berulang-ulang) lalu dilanjutkan dengan 2 kalimat sahadat dan diakhiri dengan doa.

Sesudah acara di atas dilaksanakan, dilanjutkan dengan santapan bersama sebagai wujud rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan. Setelah beristirahat sejenak dilanjutkan lagi dengan urutan (jika ada murid baru maka dia didahulukan) yaitu mengurut kedua lengan yang telah dibalur dengan minyak rambut. Adapun yang melakukan pengurutan adalah para senior dengan ketentuan sipengurut harus menguasai bacaan-bacaan tertentu (dirahasiakan) sebelum mengurut. Sementara pengurutan berlangsung, murid lainnya yang menanti giliran diurut melakukan latihan yang disebut buka kelid yaitu latihan tarung berpasangan menggunakan jurus-jurus yang diajarkan. Pada kesempatan ini pula murid baru mulai diajarkan jurus-jurus Cimande oleh pelatih atau seniornya.

Hal yang paling disenangi oleh murid TTKKDH adalah pengurutan dan latihan pengembangan jurus, dan bagi murid baru pengurutan memberi kesan tersendiri semacam “derita kebahagiaan”.

P E N U T U P

Simpulan

Adanya dua versi tentang sosok pendiri Penca Cimande merupakan kekayaan interpretasi alam pikiran murid-murid Cimande sebagai wujud kekaguman dan rasa hormat kepada leluhur yang kemudian diimplementasikan kedalam pertalekan Cimande. Ayah Kahir, Abah Kahir, Embah Kahir ataupun Embah Khaer adalah satu sosok penemu dan pengembang silat Cimande secara otodidak. Beliau dapat menjadi salah satu contoh bahwa warga negara Indonesia apabila diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya akan mampu mengangkat nama Indonesia sebagai wujud kebangggaan nasional maupun internasional.

Sebagai sebuah perguruan yang menasionalisasikan diri (melepaskan diri dari kukungan etnis tertentu), TTKKDH langsung mendapat simpati dan kemudahan dalam persebarannya dimana ajaran aliran silat ini yang mengedepankan kejujuran dan kerendahan hati (handap asor) tetapi memiliki kekuatan, sanggup mempersatukan berbagai latar belakang kehidupan sosial masyarakat. Dan bila pertalekan benar-benar diamalkan, maka beberapa penyakit masyarakat dapat dicegah seperti penggunaan obat obat terlarang (narkoba), kejahatan dalam masyarakat (mencuri, mabuk-mabukan, memakan hak orang lain, main perempuan, dan membunuh) termasuk penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.

Saran

Sebagai sebuah organisasi sebaiknya TTKKDH melakukan inventarisasi kepada murid-muridnya . Tujuannya adalah memperoleh data konkrit tentang jumlah murid-murid TTKKDH diseluruh Indonesia serta mempermudah dalam rangka pembinaan dan pengawasan apabila dikuatirkan ada unsur-unsur yang mengarah kepada penyelewengan pertalekan maupun teknik pada jurus-jurus TTKKDH.

Kendala yang dihadapi berupa kekurangan dana operasional (malah disebutkan nyaris tidak ada) dapat diantisipasi dengan memberlakukan iuran rutin yang disesuaikan dengan kemampuan tiap ranting di seluruh Indonesia.

Pemerintah daerah Kabupaten Lebak selaku pembina aktifitas kebudayaan masyarakat sudah waktunya untuk mengangkat TTKKDH sebagai salah satu aset untuk peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dengan gencar melakukan pagelaran-pagelaran silat untuk tujuan promosi wisata.


DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Gottschalk, Louis. 1986.

Understanding History : A Primer of Historical Method, atau Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Cet. V. Jakarta : UI-Press.

Harsodjo, 1982.

Pengatar Antropologi. Cet. IV, Bandung : Binacipta.

Kartodirdjo, Sartono. 1984.

Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta : Pustaka Jaya.

Rosidi, Ajip. dkk., 2000.

Ensiklopedi Sunda. Jakarta : PT. dunia Pustaka,

Satjadibrata, R., 1954.

Kamus Basa Sunda. Jakarta : Perpustakaan Perguruan Kementrian PP dan K.

Sediyawati, Edi. 1995/1996.

Kumpulan Makalah Direktur Jenderal Kebudayaan (1993-1995), Jakarta : Depdikbud.

Shahab, Alwi, 2001.

Robinhood Betawi. Cet .II. Jakarta : Republika.

Tim Penyusun Kamus. 1990.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.

Surat Kabar

Harian Umum Pikiran Rakyat, Edisi Kamis 2 Mei 2002. Bandung : PT.Percetakan Offset “Granesia”.

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Agus Suganda

Umur : 54 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan : SLTA

Alamat : Kampung Cilaki, Desa Margajaya Kec. Cimarga Kabupaten Lebak

2. Nama : Ahmad Fathoni

Umur : 51 tahun

Pekerjaan : Tani

Pendidikan : SR

Alamat : Kampung Bojong, Desa Margaluyu, Kecamatan Cimarga Kabupaten Lebak

3. Nama : Husni

Umur : 60 tahun

Pekerjaan : Tani

Pendidikan : SR

Alamat : Kampung Jahe, Desa Margaluyu, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak

4. Nama : A. Ridwan (Bapak Idom)

Umur : 61 tahun

Pekerjaan : Tani

Pendidikan : SRB

Alamat : Kampung Bojong, Desa Margaluyu, Kecamatan Cimarga Kabupaten Lebak

Tulisan ini adalah penggalan dari tulisan yang berjudul sama dan telah diterbitkan dalam bentuk Jurnal Penelitian oleh BKSNT Bandung tahun 2002.